Rabu, 15 Juli 2015

Kamu (Lagi)




Setelah sekian lama, malam ini aku kembali mencoba mengkombinasikan tiap huruf menjadi kata dengan jeda. Katanya tanpa jeda, tak akan tercipta kalimat-kalimat indah di dunia. Makanya kita membutuhkan jeda.

Malam ini aku kembali melihatmu, melihat kamu. Kamu yang hanya dapat aku rasakan hadirnya dalam diam. Karena meski kita ada di tempat yang sama pun aku harus tetap menjadi seseorang yang seperti tidak mengenalmu.

Dan kau tahu? Aku masih sama. Dengan segala tanda tanya dan belum dapat menerima segala sesuatu yang terjadi sampai saat ini. Jadi, kenapa harus aku?

Dari tembok-tembok itu aku kembali mendengar cerita. Bahwa kamu memang benar telah bahagia. Dari gambar-gambar disana memang benar, semuanya tentang tawa. Bahkan Ia telah mampu menghapus semua tentangku dari ingatanmu. 

Sedih? Masih,..

Aku sudah berkelana, bahkan ke segala arah di sekitarku. Sepertinya tiap sudutnya hampir tanpa jeda aku singgahi. 

Aku bahkan telah lelah bertanya. Kepada tiap-tiap mereka yang aku temui. Manusia seperti apakah aku? Hingga melupakan seorang kamu pun aku tak pernah mampu.

Padahal, sudah jelas semua orang melarangku, menasehatiku untuk tidak lagi pernah menyentuh sekadar bayanganmu. Tapi kepalaku mungkin lebih keras dari batu, hingga diriku sendiri pun aku lawan. Untuk seseorang yang bahkan tak pernah lagi membalikkan badan untuk sekadar melihatku. Memastikan bahwa aku baik-baik saja kau tinggalkan. Tidak pernah.

Selasa, 05 Mei 2015

Pulang


Dari kecil, semenjak usiaku menginjak 6 tahun, aku sudah harus mengikuti kedua orang tuaku untuk tinggal didalam SMP N 1 Balapulang. Didalam? Iya didalam. Mungkin aku akan lebih tepat disebut gubuk. Semenjak aku hampir memasuki bangku Sekolah Dasar masa kanak-kanakku serasa terenggut. Aku menjadi bocah yang terkurung. Yang aku lihat setiap harinya selalu sama. Gerbang sekolah yang tingginya mungkin lima kali dari tinggi badanku saat itu, jendela-jendela tua, tembok yang mulai retak, bangku dan meja yang  tertata rapi.
Gubuk yang aku tempati selama kurang lebih dua belas tahun ini beralaskan tanah, berdinding anyaman bambu, serta atapnya yang bocor disana-sini. Dimana setiap kali hujan aku, mama, dan Bapak harus repot menadah setiap tetesan-tetesan yang membasahi.
Namun begitu, aku tak pernah menyalahkan ataupun menuntut siapapun, terlebih kepada mama dan Bapak. Bagiku mereka adalah alasan dari setiap usaha, do’a dan perjuangan yang aku lakukan sampai sekarang. Seperti halnya segala hal yang mereka usahakan hanya untuk membuatku tertawa, hanya untuk membuatku berhenti menangis dan merengek.
Beruntungnya lagi aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Mereka yang tak pernah menuntutku secara materi. Tak pernah menuntutku untuk memiliki lantai yang bagus, tembok yang kokoh, serta atap yang senantiasa melindungi keluargaku.
Mama dan Bapak memiliki dua orang anak. Aku dan kakak perempuanku. Kami berjarak empat belas tahun. Dapat dibayangkan bagaimana hubungan kakak-beradik kami bukan? Aku hampir lupa masa-masa kami serumah bersama. Ia menikah ketika aku memasuki bangku Sekolah Dasar untuk kemudian mengikuti suaminya di kota.
Sebagai penjaga dan tukang kebun sekolah aku tau benar perjuangannya. Namun hebatnya, tak pernah sekalipun kudengar Ia mengeluh. Sendi-sendi dan tulangnya pasti telah amat lelah. Demi seorang aku yang belum dapat membalas jasa kedua malaikat nyataku. Demi aku yang terlalu banyak membuat mereka kecewa.
Dan sebagai anak mbontot aku memang dapat dikategorikan sebagai anak yang manja. Dan itu adalah salah satu alasan besar yang membuatku dilarang untuk berkuliah di Semarang oleh mama, bapak, emba, serta kakak iparku.
Dan benar saja, selama menjadi anak kos, disini aku benar-benar berusaha menjadi anak yang mandiri. Aku bukan tak mau mengerjakan sesuatunya sendiri, bukan. Aku hanya tak dapat jauh dari mama. Aku rindu omelannya, aku rindu ketika Ia berulang kali memintaku untuk makan.
“Ka, ayo buruan makan. Kamu itu jangan bikin jengkel. Kamu bukan sedang disuruh mencari makan. Tinggal makan saja kok ya engga mau.”
Kalimat itu yang sering terlintas dalam lamunanku. Dan benar saja, selama menjadi anak kos baru aku rasakan betapa jauh dari orang tua adalah hal yang teramat sulit. Ketika sakit, aku tak lagi dapat meminta perhatian dari mama.
Gubuk tua yang belasan tahun aku tempati kini harus kutinggalkan pergi. Akhir tahun ini Bapak sudah harus mengakhiri pekerjaannya. Disitu terlalu banyak kenangan. Tentang hujan, tentang kemarau, tentang malam, tentang tawa, tentang sunyi, tentang emosi, dan tentang pulang.
Aku adalah manusia yang membenci adaptasi dan perpindahan. Karena tak mudah bagiku untuk mengenali setiap detail disekitarku, dan lebih tak mudah untuk melepaskannya satu per-satu ketika harus terpisah jarak dan waktu.

Rabu, 04 Februari 2015

Detektif Tengah Patah Hati




Detektif tengah patah hati. Begitu kiranya suasana yang tergambar di batas malam dan pagi kali ini. Ia yang tak banyak orang yang tau dalamnya hatinya kini kembali dirundung lara. Secuil gertak yang kembali menyeka.

Bukankan cinta adalah jatah wajib dari Tuhan bagi umatnya, lalu mengapa kembali getaran pilu itu ada? Memang tak seberapa, memang tak akan berdampak apa-apa. Tapi bukankah tawa nyata itu benar milik umat manusia dari sang Esa?

Dan detektif kembali patah hati, dibalik layar monitor Ia memanyun-manyunkan bibir tipisnya. Memencet dengan penuh rasa barisan tombol dihadapnya. Inginnya agar dunia mengerti hatinya. Tapi semua hanya sia, karena Ia kini detektif yang tengah patah hatinya. 

Bukankah menjadi detektif itu seperti ini “aku tetap dapat melihatnya tanpa perlu Ia dapat melihatku”, begitu terus gumamnya. Merapal mantra rahasia agar mereda sakitnya. Tapi pilu itu terlanjur ada hampir setengah dekade lamanya. Entah salah siapa, baiknya kau temui detektif yang tengah patah hati itu, memberinya sedikit tawa. Tidak perlu terlampau banyak, asal Ia tak lagi menyentuh luka.