Konservasi yang diterapkan oleh
Universitas Negeri Semarang dirasa semakin melemah gaungnya. Hal ini
dikarenakan semangat dan keataan yang berkurang dari warga Unnes sendiri. Lalu
masih layakkah Universitas kita tercinta ini disebut Universitas Konservasi?
Semarang
–
konservasi yang diterapkan oleh Universitas Negeri Semarang dirasa semakin melemah
pelaksanaannya, baik dari pihak dosen maupun mahasiswanya sendiri. Hal ini
terbukti dari semakin banyaknya kendaraan yang “diperbolehkan” memasuki area
kampus. Masih layak atau tidaknya Unnes disebut kampus konservasi tengah
menjadi perbincangan hangat. Menurut Umi Kholipah, mahasiswi Fakultas Ekonomi
prodi Akuntansi angkatan 2013 menuturkan bahwa Unnes sendiri sebenarnya masih
layak untuk melanjutkan proyek konservasinya, hanya saja perlu dilaksanakan
perbaikan disana-sini mengenai peraturan dan juga kepatuhan dari warga Unnes
sendiri. Saling menjaga, saling melestarikan.
“Menurut
saya masih layak karena masih ada mata kuliah PLH, masih ada rumah kompos.
Universitas yang lebih rindang saja tidak berani menyebut dirinya konservasi
sedangkan UNNES sudah berani. Jadi sebaiknya diteruskan lagi, lebih digiatkan
lagi program dan penerapannya” tuturnya pada saat ditemui Selasa siang
2/12/2014.
Konservasi
masih belum basi, masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Tinggal bagaimana
elemen kampus mengoptimalkan hal-hal penting yang berkaitan dengan konservasi
itu sendiri. Konservasi masih menjadi milik kita Universitas Negeri Semarang.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Sesuai
dengan 7 pilar konservasi yang telah kita kenali yaitu arsitektur hijau dan
transportasi internal, biodiversitas, energi bersih, seni budaya, kaderisasi
konservasi, paperless, dan pengolahan limbah. Pergantian kepemimpinan tidak
seharusnya membuat melenceng dari konsep awal. Dimulai dari diri kita, kemudian
lingkungan kita. Untuk merubah suatu hal yang besar dimulai dari perubahan
kecil yang dapat diri sendiri lakukan. ( Siska A )