Dari kecil, semenjak usiaku menginjak 6 tahun, aku sudah harus mengikuti kedua orang tuaku untuk tinggal didalam SMP N 1 Balapulang. Didalam? Iya didalam. Mungkin aku akan lebih tepat disebut gubuk. Semenjak aku hampir memasuki bangku Sekolah Dasar masa kanak-kanakku serasa terenggut. Aku menjadi bocah yang terkurung. Yang aku lihat setiap harinya selalu sama. Gerbang sekolah yang tingginya mungkin lima kali dari tinggi badanku saat itu, jendela-jendela tua, tembok yang mulai retak, bangku dan meja yang tertata rapi.
Gubuk yang aku tempati selama
kurang lebih dua belas tahun ini beralaskan tanah, berdinding anyaman bambu,
serta atapnya yang bocor disana-sini. Dimana setiap kali hujan aku, mama, dan Bapak
harus repot menadah setiap tetesan-tetesan yang membasahi.
Namun begitu, aku tak pernah
menyalahkan ataupun menuntut siapapun, terlebih kepada mama dan Bapak. Bagiku mereka
adalah alasan dari setiap usaha, do’a dan perjuangan yang aku lakukan sampai
sekarang. Seperti halnya segala hal yang mereka usahakan hanya untuk membuatku
tertawa, hanya untuk membuatku berhenti menangis dan merengek.
Beruntungnya lagi aku dikelilingi
orang-orang yang menyayangiku. Mereka yang tak pernah menuntutku secara materi.
Tak pernah menuntutku untuk memiliki lantai yang bagus, tembok yang kokoh,
serta atap yang senantiasa melindungi keluargaku.
Mama dan Bapak memiliki dua orang
anak. Aku dan kakak perempuanku. Kami berjarak empat belas tahun. Dapat dibayangkan
bagaimana hubungan kakak-beradik kami bukan? Aku hampir lupa masa-masa kami
serumah bersama. Ia menikah ketika aku memasuki bangku Sekolah Dasar untuk
kemudian mengikuti suaminya di kota.
Sebagai penjaga dan tukang kebun
sekolah aku tau benar perjuangannya. Namun hebatnya, tak pernah sekalipun
kudengar Ia mengeluh. Sendi-sendi dan tulangnya pasti telah amat lelah. Demi seorang
aku yang belum dapat membalas jasa kedua malaikat nyataku. Demi aku yang
terlalu banyak membuat mereka kecewa.
Dan sebagai anak mbontot aku memang dapat dikategorikan
sebagai anak yang manja. Dan itu adalah salah satu alasan besar yang membuatku
dilarang untuk berkuliah di Semarang oleh mama, bapak, emba, serta kakak
iparku.
Dan benar saja, selama menjadi
anak kos, disini aku benar-benar berusaha menjadi anak yang mandiri. Aku bukan
tak mau mengerjakan sesuatunya sendiri, bukan. Aku hanya tak dapat jauh dari
mama. Aku rindu omelannya, aku rindu ketika Ia berulang kali memintaku untuk
makan.
“Ka, ayo buruan makan. Kamu itu jangan bikin jengkel. Kamu bukan sedang
disuruh mencari makan. Tinggal makan saja kok ya engga mau.”
Kalimat itu yang sering terlintas
dalam lamunanku. Dan benar saja, selama menjadi anak kos baru aku rasakan
betapa jauh dari orang tua adalah hal yang teramat sulit. Ketika sakit, aku tak
lagi dapat meminta perhatian dari mama.
Gubuk tua yang belasan tahun aku
tempati kini harus kutinggalkan pergi. Akhir tahun ini Bapak sudah harus
mengakhiri pekerjaannya. Disitu terlalu banyak kenangan. Tentang hujan, tentang
kemarau, tentang malam, tentang tawa, tentang sunyi, tentang emosi, dan tentang
pulang.
Aku adalah manusia yang membenci
adaptasi dan perpindahan. Karena tak mudah bagiku untuk mengenali setiap detail
disekitarku, dan lebih tak mudah untuk melepaskannya satu per-satu ketika harus
terpisah jarak dan waktu.