Selasa, 05 Mei 2015

Pulang


Dari kecil, semenjak usiaku menginjak 6 tahun, aku sudah harus mengikuti kedua orang tuaku untuk tinggal didalam SMP N 1 Balapulang. Didalam? Iya didalam. Mungkin aku akan lebih tepat disebut gubuk. Semenjak aku hampir memasuki bangku Sekolah Dasar masa kanak-kanakku serasa terenggut. Aku menjadi bocah yang terkurung. Yang aku lihat setiap harinya selalu sama. Gerbang sekolah yang tingginya mungkin lima kali dari tinggi badanku saat itu, jendela-jendela tua, tembok yang mulai retak, bangku dan meja yang  tertata rapi.
Gubuk yang aku tempati selama kurang lebih dua belas tahun ini beralaskan tanah, berdinding anyaman bambu, serta atapnya yang bocor disana-sini. Dimana setiap kali hujan aku, mama, dan Bapak harus repot menadah setiap tetesan-tetesan yang membasahi.
Namun begitu, aku tak pernah menyalahkan ataupun menuntut siapapun, terlebih kepada mama dan Bapak. Bagiku mereka adalah alasan dari setiap usaha, do’a dan perjuangan yang aku lakukan sampai sekarang. Seperti halnya segala hal yang mereka usahakan hanya untuk membuatku tertawa, hanya untuk membuatku berhenti menangis dan merengek.
Beruntungnya lagi aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Mereka yang tak pernah menuntutku secara materi. Tak pernah menuntutku untuk memiliki lantai yang bagus, tembok yang kokoh, serta atap yang senantiasa melindungi keluargaku.
Mama dan Bapak memiliki dua orang anak. Aku dan kakak perempuanku. Kami berjarak empat belas tahun. Dapat dibayangkan bagaimana hubungan kakak-beradik kami bukan? Aku hampir lupa masa-masa kami serumah bersama. Ia menikah ketika aku memasuki bangku Sekolah Dasar untuk kemudian mengikuti suaminya di kota.
Sebagai penjaga dan tukang kebun sekolah aku tau benar perjuangannya. Namun hebatnya, tak pernah sekalipun kudengar Ia mengeluh. Sendi-sendi dan tulangnya pasti telah amat lelah. Demi seorang aku yang belum dapat membalas jasa kedua malaikat nyataku. Demi aku yang terlalu banyak membuat mereka kecewa.
Dan sebagai anak mbontot aku memang dapat dikategorikan sebagai anak yang manja. Dan itu adalah salah satu alasan besar yang membuatku dilarang untuk berkuliah di Semarang oleh mama, bapak, emba, serta kakak iparku.
Dan benar saja, selama menjadi anak kos, disini aku benar-benar berusaha menjadi anak yang mandiri. Aku bukan tak mau mengerjakan sesuatunya sendiri, bukan. Aku hanya tak dapat jauh dari mama. Aku rindu omelannya, aku rindu ketika Ia berulang kali memintaku untuk makan.
“Ka, ayo buruan makan. Kamu itu jangan bikin jengkel. Kamu bukan sedang disuruh mencari makan. Tinggal makan saja kok ya engga mau.”
Kalimat itu yang sering terlintas dalam lamunanku. Dan benar saja, selama menjadi anak kos baru aku rasakan betapa jauh dari orang tua adalah hal yang teramat sulit. Ketika sakit, aku tak lagi dapat meminta perhatian dari mama.
Gubuk tua yang belasan tahun aku tempati kini harus kutinggalkan pergi. Akhir tahun ini Bapak sudah harus mengakhiri pekerjaannya. Disitu terlalu banyak kenangan. Tentang hujan, tentang kemarau, tentang malam, tentang tawa, tentang sunyi, tentang emosi, dan tentang pulang.
Aku adalah manusia yang membenci adaptasi dan perpindahan. Karena tak mudah bagiku untuk mengenali setiap detail disekitarku, dan lebih tak mudah untuk melepaskannya satu per-satu ketika harus terpisah jarak dan waktu.