Maka
tidakkah kau rindu, setiap jengkal jalan yang pernah kita lewati?
Maka
tidakkah kau rindu, setiap mangkuk mie instant yang pernah kita habiskan?
Maka
tidakkah kau rindu, setiap baris kata yang pernah kutuang?
Maka
tidakkah kau rindu, ribuan pesan yang pernah menyemangati hari kelabu?
Maka
tidakkah kau rindu, setiap tawa yang pernah kita cipta?
Begitulah
Ia, terus memutar otak. Terus berkoloni dengan semua memori tentangnya. Ia
bahkan lupa akan lelah itu. Hatinya telah teracuni oleh namanya. Harinya tak
lagi penuh miliknya, ada nama yang tak pernah pergi. Ada cerita yang belum
terselesaikan.
Aku
tidak mengerti apa yang akan aku tulis. Aku tidak mengerti apa yang akan aku
baca. Disana hanya ada diam yang tanpa rencana. Terus menerus mencari arti tanya
dalam benaknya. Lagi dan lagi. Semuanya bersembunyi tanpa ingin
teridentifikasi. Semuanya menjaadi pengumpat. Pecundang tanpa muka.
Dan
serbuan air langit itu mungkin punya jawabannya. Padanya mungkin aku tak lagi
harus mengumpat rasa. Meng’iya’kan yang ‘iya’ dan berkata ‘tidak’ untuk yang ‘tidak’.
Padanya mungkin aku tak lagi harus menjadi dua sisi yang pernah kutulis saat
itu. Lembaran putih yang penuh cerita. Karena kita memanglah sama bukan? Menjadi
orang lain. Berperan layaknya pemain laga. Mengisahkan kisah yang kutulis
sendiri dimana aku yang harus keluar dari kisah itu.
Dan
bila masih sama, bila masih dapat menggenggam cerita yang sama, mungkin
sekarang kita ada disana. Dibawah serbuan air langit yang dengan gagahnya berkata
akan mengalahkanku, menjadikanku lemah dengan dinginnya. Tapi aku tak pernah
taku, karena aku tidak pernah takut. Selagi tanganku masih kamu genggam, selagi
tawamu masih menjadi bagian utama hariku,
Seharusnya~~