Rabu, 17 Desember 2014

untitled




Maka tidakkah kau rindu, setiap jengkal jalan yang pernah kita lewati?
Maka tidakkah kau rindu, setiap mangkuk mie instant yang pernah kita habiskan?
Maka tidakkah kau rindu, setiap baris kata yang pernah kutuang?
Maka tidakkah kau rindu, ribuan pesan yang pernah menyemangati hari kelabu?
Maka tidakkah kau rindu, setiap tawa yang pernah kita cipta?

Begitulah Ia, terus memutar otak. Terus berkoloni dengan semua memori tentangnya. Ia bahkan lupa akan lelah itu. Hatinya telah teracuni oleh namanya. Harinya tak lagi penuh miliknya, ada nama yang tak pernah pergi. Ada cerita yang belum terselesaikan.
Aku tidak mengerti apa yang akan aku tulis. Aku tidak mengerti apa yang akan aku baca. Disana hanya ada diam yang tanpa rencana. Terus menerus mencari arti tanya dalam benaknya. Lagi dan lagi. Semuanya bersembunyi tanpa ingin teridentifikasi. Semuanya menjaadi pengumpat. Pecundang tanpa muka. 

Dan serbuan air langit itu mungkin punya jawabannya. Padanya mungkin aku tak lagi harus mengumpat rasa. Meng’iya’kan yang ‘iya’ dan berkata ‘tidak’ untuk yang ‘tidak’. Padanya mungkin aku tak lagi harus menjadi dua sisi yang pernah kutulis saat itu. Lembaran putih yang penuh cerita. Karena kita memanglah sama bukan? Menjadi orang lain. Berperan layaknya pemain laga. Mengisahkan kisah yang kutulis sendiri dimana aku yang harus keluar dari kisah itu. 

Dan bila masih sama, bila masih dapat menggenggam cerita yang sama, mungkin sekarang kita ada disana. Dibawah serbuan air langit yang dengan gagahnya berkata akan mengalahkanku, menjadikanku lemah dengan dinginnya. Tapi aku tak pernah taku, karena aku tidak pernah takut. Selagi tanganku masih kamu genggam, selagi tawamu masih menjadi bagian utama hariku,
Seharusnya~~