Selasa, 11 Juni 2013

22.25 Kisah Klasik Tak Berarti

Disebuah kursi usang itu kami duduk berdua, sepi, sunyi,dan lama kami hanya mematung berdua tanpa sepatah katapun menghiasi pertemuan itu. Hanya sunyi dan kosong ditemani semilir angin dari luar teras rumahku saja yang menyapa kami. Perlahan aku mulai berani menatap wajahnya dari samping, lama kuperhatikan Ia dengan seksama. Andai Ia tahu, sejuta kata ingin keluar dari mulutku. Aku ingin tertawa bersamanya, aku ingin berbagi cerita bersamanya, aku ingin melepas semua beban dikelapaku bersamanya, andai saja....
Andai Ia tahu isi hatiku,..

Dan rupanya Ia sadar juga aku tengah memperhatikannya, Ia tertawa kecil, manis memang. Dan senyum itu yang membuatku begitu sulit melupakannya. Lalu kuberanikan diri untuk memulai percakapan kami.

"Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik, seperti yang kau lihat sekarang"
"Ohw yha, syukur kalau begitu, setahu aku apa yang kita lihat dari seseorang belum tentu apa yang sedang Ia rasakan lho,.." :D
"hahah, bisa saja kamu ini, bisa jadi sih, entahlah... "
"emmm,... ada yang ingin aku katakan padamu,.. "
"Apa, katakan jangan tak kau katakan,"
"Ahh, lupakan sajalah, tak penting,.. ayo diminum susu coklat hangatnya, nanti keburu dingin dibawa angin"

Andai Ia tau apa yang sebenarnya ingin aku katakan saat itu, adalah bahwa Jika sekarang masih dulu, aku tak ingin Ia pergi dariku, aku ingin terus menulis kisah bersamanya. Tapi sudahlah, keadaan memang sekarang telah berubah, bahkan untuk melihat tawanyapun aku hanya mampu mendapatinya dalam imajinasiku. Dia telah bahagia dengan dunianya kini, dunianya yang penuh warna, penuh cerita dan tak lagi terkekang oleh nyata.

Ia mungkin memang tengah disampingku, tapi tidak dengan jiwa dan pikirannya, aku tau Ia tengah asyik memikirkan kekasihnya. Seseorang yang telah membuat Ia pergi tanpa alasan dariku, seseorang yang mungkin jauh lebih baik dariku. Tapi tak apa, itu tak lagi kupikirkan, yang dapat aku lakukan sekarang adalah menikmati setiap detik bersamanya sebelum Ia pergi dan kembali ke kehidupannya, hidup yang Ia kejar dari dahulu.

Lama kami bercerita, aku sama sekali tak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka itu, bahkan sakitku sama sekali tak kuhiraukan. Andai aku dapat menebak hatinya, mungkin Ia pun menyesal atas semua kisah pilu itu. Mungkin kedatangannya kini hanya untuk meredam keadaan saja, bahwa Ia tak sekejam itu menyakitiku, bahwa Ia tak pernah ingin melihatku menangis.