Kamis, 18 Desember 2014

Konservasi Belum Basi




Konservasi yang diterapkan oleh Universitas Negeri Semarang dirasa semakin melemah gaungnya. Hal ini dikarenakan semangat dan keataan yang berkurang dari warga Unnes sendiri. Lalu masih layakkah Universitas kita tercinta ini disebut Universitas Konservasi?

Semarang ­­– konservasi yang diterapkan oleh Universitas Negeri  Semarang dirasa semakin melemah pelaksanaannya, baik dari pihak dosen maupun mahasiswanya sendiri. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya kendaraan yang “diperbolehkan” memasuki area kampus. Masih layak atau tidaknya Unnes disebut kampus konservasi tengah menjadi perbincangan hangat. Menurut Umi Kholipah, mahasiswi Fakultas Ekonomi prodi Akuntansi angkatan 2013 menuturkan bahwa Unnes sendiri sebenarnya masih layak untuk melanjutkan proyek konservasinya, hanya saja perlu dilaksanakan perbaikan disana-sini mengenai peraturan dan juga kepatuhan dari warga Unnes sendiri. Saling menjaga, saling melestarikan. 

“Menurut saya masih layak karena masih ada mata kuliah PLH, masih ada rumah kompos. Universitas yang lebih rindang saja tidak berani menyebut dirinya konservasi sedangkan UNNES sudah berani. Jadi sebaiknya diteruskan lagi, lebih digiatkan lagi program dan penerapannya” tuturnya pada saat ditemui Selasa siang 2/12/2014.

Konservasi masih belum basi, masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Tinggal bagaimana elemen kampus mengoptimalkan hal-hal penting yang berkaitan dengan konservasi itu sendiri. Konservasi masih menjadi milik kita Universitas Negeri Semarang. Lalu apa yang harus kita lakukan? 

Sesuai dengan 7 pilar konservasi yang telah kita kenali yaitu arsitektur hijau dan transportasi internal, biodiversitas, energi bersih, seni budaya, kaderisasi konservasi, paperless, dan  pengolahan limbah. Pergantian kepemimpinan tidak seharusnya membuat melenceng dari konsep awal. Dimulai dari diri kita, kemudian lingkungan kita. Untuk merubah suatu hal yang besar dimulai dari perubahan kecil yang dapat diri sendiri lakukan. ( Siska A )

Rabu, 17 Desember 2014

untitled




Maka tidakkah kau rindu, setiap jengkal jalan yang pernah kita lewati?
Maka tidakkah kau rindu, setiap mangkuk mie instant yang pernah kita habiskan?
Maka tidakkah kau rindu, setiap baris kata yang pernah kutuang?
Maka tidakkah kau rindu, ribuan pesan yang pernah menyemangati hari kelabu?
Maka tidakkah kau rindu, setiap tawa yang pernah kita cipta?

Begitulah Ia, terus memutar otak. Terus berkoloni dengan semua memori tentangnya. Ia bahkan lupa akan lelah itu. Hatinya telah teracuni oleh namanya. Harinya tak lagi penuh miliknya, ada nama yang tak pernah pergi. Ada cerita yang belum terselesaikan.
Aku tidak mengerti apa yang akan aku tulis. Aku tidak mengerti apa yang akan aku baca. Disana hanya ada diam yang tanpa rencana. Terus menerus mencari arti tanya dalam benaknya. Lagi dan lagi. Semuanya bersembunyi tanpa ingin teridentifikasi. Semuanya menjaadi pengumpat. Pecundang tanpa muka. 

Dan serbuan air langit itu mungkin punya jawabannya. Padanya mungkin aku tak lagi harus mengumpat rasa. Meng’iya’kan yang ‘iya’ dan berkata ‘tidak’ untuk yang ‘tidak’. Padanya mungkin aku tak lagi harus menjadi dua sisi yang pernah kutulis saat itu. Lembaran putih yang penuh cerita. Karena kita memanglah sama bukan? Menjadi orang lain. Berperan layaknya pemain laga. Mengisahkan kisah yang kutulis sendiri dimana aku yang harus keluar dari kisah itu. 

Dan bila masih sama, bila masih dapat menggenggam cerita yang sama, mungkin sekarang kita ada disana. Dibawah serbuan air langit yang dengan gagahnya berkata akan mengalahkanku, menjadikanku lemah dengan dinginnya. Tapi aku tak pernah taku, karena aku tidak pernah takut. Selagi tanganku masih kamu genggam, selagi tawamu masih menjadi bagian utama hariku,
Seharusnya~~